
Seminar 3 B (IRB II/2024/2025)
IDENTITAS MATAKULIAH
Nama matakuliah : Seminar 3: Kajian Ideologi
Kode matakuliah : KSM 22411
Jumlah SKS : 2
Semester : Genap 2024/2025
Status matakuliah : Pilihan
Dosen pengampu : Min Seong Kim, Ph.D. (minseong.kim@usd.ac.id)
Dr. Gabriel Fajar Sasmita Aji (fajar@usd.ac.id)
DESKRIPSI
Makna, efektivitas politik (Vivek Chibber), dan bahkan ‘realitas’ ideologi (Jon Beasley-Murray), tetap diperdebatkan dalam teori sosial kontemporer. Apa yang jelas adalah asumsi sederhana bahwa ideologi adalah ‘malfungsi’ epistemik, atau suatu ‘tabir’ yang mengaburkan suatu ‘realitas mendasar yang objektif’, tidak memadai untuk memahami operasi ideologi (Ernesto Laclau, Slavoj Žižek, dll.). Matakuliah ini meninjau pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan kajian ideologi saat ini dan menyelidiki ideologi sebagai dimensi integral dari masyarakat.
Matakuliah ini berfokus pada pertanyaan-pertanyaan yang berasal dari satu tulisan penting dari Louis Althusser berjudul “Ideology and Ideological State Apparatus.” Sementara tulisan Althusser ini menggambarkan pemahaman baru tentang ideologi, seperti yang sudah tersirat oleh subjudul dalam tanda kurung (“Notes Towards an Investigation”), esai Althusser meninggalkan berbagai poin yang ambigu, yang telah menyibukkan para ahli teori ideologi: siapa (who or what) yang sedang diinterpelasi (Paul Hirst, dll.); kondisi keberhasilan interpelasi ideologis tertentu (Judith Butler, Mladen Dolar, dll.); cara menghasilkan ‘hegemoni di atas dan dalam [hegemony over and in]’ aparat ideologis negara yang dilihat oleh Althusser sebagai ‘ stake’ dan ‘site’ perjuangan kelas’ (Laclau, dll.); implikasi dari ‘materialitas’ ideologi yang hanya disinggung oleh Althusser (Pierre Bourdieu, Žižek, dll.); apakah ‘cakupan’ dan ‘luas’ ideologi sesuai (coterminous) dengan negara (Nicos Poulantzas, dll.); dan cara membedakan dan menganalisis multiplisitas ideologi, di luar ‘fungsi’ dan ‘mekanisme’ ideologi secara umum (Michael Freeden, Marius Ostrowski, dll.).
Sebagai latar belakang, kita akan mulai dengan buku Marius Ostrowski (2022) untuk mendapatkan tinjauan luas tentang kajian kontemporer ideologi (ideology)—kategori teoretis umum yang merujuk pada dimensi tertentu dari realitas sosial manusia—dan pendekatan morfologis tentang berbagai ideologi—kumpulan ide dan praktik tertentu yang membentuk ‘wacana’ terntentu, yang mencakup ‘makro-ideologi’ seperti demokratisme dan otoritarianisme, sosialisme dan kapitalisme, serta liberalisme dan konservatisme, ‘meso-ideologi’ seperti demokrasi sosial dan fasisme, dan ‘mikro-ideologi’ seperti koperativisme dan Evangelikalisme.
Untuk menelaah bagaimana ideologi beroperasi dan menjawab pertanyaan yang dibukai oleh Althusser, kita akan mencoba mengartikulasikan perspektif teoretis tentang ideologi melalui wawasan poststrukturalisme dan teori psikoanalitik Jacques Lacan. Kita memberikan perhatian khusus pada kontribusi Slavoj Žižek untuk teorisasi tentang ideologi dan gagasan post-Marxist discourse theory tentang logika politik, sosial, dan fantasmatik (Jason Glynos & David Howarth). Kita akan lihat kritik terhadap wacana perubahan iklim—baik yang menyangkal perubahan iklim maupun aktivis iklim—dari ahli geografi Lucas Pohl dan Erik Swyngedouw sebagai satu contoh ‘aplikasi’ gagasan Žižek dalam kritik sosial kontemporer dan mempertimbangkan apakah pendekatan kita mampu menjelaskan bagaimana ideologi membentuk dirinya sendiri dan mengambil alih dalam masyarakat, baik sebagai ‘peta’ yang digunakan individu untuk ‘menavigasi’ realitas yang mereka jalani, tetapi juga sebagai struktur simbolik/imajiner yang ‘menginterpelasi’, dan dengan demikian mengonstitusikan, individu sebagai subjek sosial-politik.
Di bagian akhir seminar ini yang sebagian besar bersifat exploratif, kita mencoba memperluas perspektif kita tentang ideologi untuk mempertimbangkan, lebih dalam, pertanyaan tentang materialitas ideologi, dengan mempertimbangkan (a) bagaimana praktik kehidupan sehari-hari berfungsi sebagai locus ideologi (Peter Bratsis), (b) peran institusi seni dan budaya dalam transformasi dan konsolidasi ideologi (Oliver Marchart), dan (c) makna publik dan spatiality (keruangan) dari ‘ruang publik’—sesuatu hal yang dianggap sangat penting untuk demokrasi (Jürgen Habermas)—dan implikasinya dalam memahami hubungan antara seni, ideologi, dan politik demokratis, melalui “Agoraphobia”, esai klasik oleh sejarawan seni Rosalyn Deutsche, dan intervensi dari ahli teori politik, geografi, dan seni (Chantal Mouffe, Friederike Landau-Donnelly, Yannis Stavrakakis, dll.). Terakhir (kalau ada waktu), kita secara singkat memikirkan tema (d) social media dan mediatisasi (Matthew Flisfeder, dll.).
Nama matakuliah : Seminar 3: Kajian Ideologi
Kode matakuliah : KSM 22411
Jumlah SKS : 2
Semester : Genap 2024/2025
Status matakuliah : Pilihan
Dosen pengampu : Min Seong Kim, Ph.D. (minseong.kim@usd.ac.id)
Dr. Gabriel Fajar Sasmita Aji (fajar@usd.ac.id)
DESKRIPSI
Makna, efektivitas politik (Vivek Chibber), dan bahkan ‘realitas’ ideologi (Jon Beasley-Murray), tetap diperdebatkan dalam teori sosial kontemporer. Apa yang jelas adalah asumsi sederhana bahwa ideologi adalah ‘malfungsi’ epistemik, atau suatu ‘tabir’ yang mengaburkan suatu ‘realitas mendasar yang objektif’, tidak memadai untuk memahami operasi ideologi (Ernesto Laclau, Slavoj Žižek, dll.). Matakuliah ini meninjau pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan kajian ideologi saat ini dan menyelidiki ideologi sebagai dimensi integral dari masyarakat.
Matakuliah ini berfokus pada pertanyaan-pertanyaan yang berasal dari satu tulisan penting dari Louis Althusser berjudul “Ideology and Ideological State Apparatus.” Sementara tulisan Althusser ini menggambarkan pemahaman baru tentang ideologi, seperti yang sudah tersirat oleh subjudul dalam tanda kurung (“Notes Towards an Investigation”), esai Althusser meninggalkan berbagai poin yang ambigu, yang telah menyibukkan para ahli teori ideologi: siapa (who or what) yang sedang diinterpelasi (Paul Hirst, dll.); kondisi keberhasilan interpelasi ideologis tertentu (Judith Butler, Mladen Dolar, dll.); cara menghasilkan ‘hegemoni di atas dan dalam [hegemony over and in]’ aparat ideologis negara yang dilihat oleh Althusser sebagai ‘ stake’ dan ‘site’ perjuangan kelas’ (Laclau, dll.); implikasi dari ‘materialitas’ ideologi yang hanya disinggung oleh Althusser (Pierre Bourdieu, Žižek, dll.); apakah ‘cakupan’ dan ‘luas’ ideologi sesuai (coterminous) dengan negara (Nicos Poulantzas, dll.); dan cara membedakan dan menganalisis multiplisitas ideologi, di luar ‘fungsi’ dan ‘mekanisme’ ideologi secara umum (Michael Freeden, Marius Ostrowski, dll.).
Sebagai latar belakang, kita akan mulai dengan buku Marius Ostrowski (2022) untuk mendapatkan tinjauan luas tentang kajian kontemporer ideologi (ideology)—kategori teoretis umum yang merujuk pada dimensi tertentu dari realitas sosial manusia—dan pendekatan morfologis tentang berbagai ideologi—kumpulan ide dan praktik tertentu yang membentuk ‘wacana’ terntentu, yang mencakup ‘makro-ideologi’ seperti demokratisme dan otoritarianisme, sosialisme dan kapitalisme, serta liberalisme dan konservatisme, ‘meso-ideologi’ seperti demokrasi sosial dan fasisme, dan ‘mikro-ideologi’ seperti koperativisme dan Evangelikalisme.
Untuk menelaah bagaimana ideologi beroperasi dan menjawab pertanyaan yang dibukai oleh Althusser, kita akan mencoba mengartikulasikan perspektif teoretis tentang ideologi melalui wawasan poststrukturalisme dan teori psikoanalitik Jacques Lacan. Kita memberikan perhatian khusus pada kontribusi Slavoj Žižek untuk teorisasi tentang ideologi dan gagasan post-Marxist discourse theory tentang logika politik, sosial, dan fantasmatik (Jason Glynos & David Howarth). Kita akan lihat kritik terhadap wacana perubahan iklim—baik yang menyangkal perubahan iklim maupun aktivis iklim—dari ahli geografi Lucas Pohl dan Erik Swyngedouw sebagai satu contoh ‘aplikasi’ gagasan Žižek dalam kritik sosial kontemporer dan mempertimbangkan apakah pendekatan kita mampu menjelaskan bagaimana ideologi membentuk dirinya sendiri dan mengambil alih dalam masyarakat, baik sebagai ‘peta’ yang digunakan individu untuk ‘menavigasi’ realitas yang mereka jalani, tetapi juga sebagai struktur simbolik/imajiner yang ‘menginterpelasi’, dan dengan demikian mengonstitusikan, individu sebagai subjek sosial-politik.
Di bagian akhir seminar ini yang sebagian besar bersifat exploratif, kita mencoba memperluas perspektif kita tentang ideologi untuk mempertimbangkan, lebih dalam, pertanyaan tentang materialitas ideologi, dengan mempertimbangkan (a) bagaimana praktik kehidupan sehari-hari berfungsi sebagai locus ideologi (Peter Bratsis), (b) peran institusi seni dan budaya dalam transformasi dan konsolidasi ideologi (Oliver Marchart), dan (c) makna publik dan spatiality (keruangan) dari ‘ruang publik’—sesuatu hal yang dianggap sangat penting untuk demokrasi (Jürgen Habermas)—dan implikasinya dalam memahami hubungan antara seni, ideologi, dan politik demokratis, melalui “Agoraphobia”, esai klasik oleh sejarawan seni Rosalyn Deutsche, dan intervensi dari ahli teori politik, geografi, dan seni (Chantal Mouffe, Friederike Landau-Donnelly, Yannis Stavrakakis, dll.). Terakhir (kalau ada waktu), kita secara singkat memikirkan tema (d) social media dan mediatisasi (Matthew Flisfeder, dll.).